Tampilkan postingan dengan label perawat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label perawat. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Juli 2009

PERAWAT TERPERANGKAP BUDAYA PEMBANTU

Sebuah bangunan yang indah, kokoh berlantai lebih dari satu, berventilasi nyaman, didukung dengan jumlah dokter yang lengkap, teknologi canggih dan tenaga penunjang yang trampil, tetapi tidak ada pelayanan Keperawatan maka bangunan itu tidak bisa dikatakan sebagai Rumah Sakit dan hanya sebagai Klinik Dokter Praktek Bersama. Dengan demikian pelayanan Keperawatan di rumah sakit yang diberikan oleh profesi Perawat mempunyai peran yang sangat vital dan menentukan keberhasilan visi serta penerapan manajemen mutu terpadu rumah sakit (hospitals basic service). Pelayanan Keperawatan merupakan pelayanan yang luhur dibidang jasa kesehatan pada umumnya dan rumah sakit pada khususnya. Hal tersebut ditegaskan oleh WHO Expert Commitee on Nursing, (1983) bahwa pelayanan keperawatan adalah gabungan dari ilmu kesehatan dan seni melayani/merawat (care), suatu gabungan humanistik dari ilmu pengetahuan, filosofi keperawatan, kegiatan klinik, komunikasi dan ilmu social. Dipertegas lagi oleh WHO Expert Commitee on Nursing Practice (1996), bahwa keperawatan adalah ilmu dan seni sekaligus. Disebutkan juga keperawatan bertugas membantu individu, keluarga dan kelompok untuk mencapai potensi optimalnya dibidang fisik, mental dan sosial dalam ruang lingkup kehidupan dan pekerjaanya.

Kata membantu itulah yang membuat profesi Perawat yang luhur, seolah-olah profesi kesehatan lain dalam hal ini “Dokter” menganggap dirinya sebagai “Majikan” dan Perawat sebagai “Pembantu”. Hal tersebut diperjelas lagi Perawat sebagai tenaga Paramedis, arti secara harafiahnya para = pembantu dan medis = dokter. Dengan mitos itulah profesi Perawat menjadi terbelenggu pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya, Perawat tugasnya tidak boleh kemana-mana, boleh tumbuh tidak boleh berkembang, terjadi penyusutan kreatifitas, harus tunduk pada aturan “Manut dan manut”, pendidkannya hanya sederjat dengan SLTP (PK C )/SLTA (SPK) dan disitulah yang dimaksud penulis, “Perawat Terperangkap Budaya Pembantu”. Sehingga mindset dan perilakunyapun membentuk state “Pembantu”, terbiasa dan linier, menjadi budaya dan lebih parah lagi menjadi karakter, sehingga mengakar sampai berpuluh-puluh tahun lamanya, walaupun pada tahun 1983 pada Lokakarya Nasional Kelompk Kerja Keperawatan-Konsorsium Ilmu Kesehatan, merumuskan bahwa keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, kelurga dan masyarakat baik yang sakit maupun yang sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Sebagai insan manusia yang normal mempunyai otak kiri dan kanan yang sinergis, maka kita akan manggut-manggut dan hatinya berbicara ”Fantastis…Luar Biasa !”. Hal tersebut bertambah mengkristal manakala membaca definisi Ilmu Keperawatan menurut Konsorsium Ilmu Kesehatan 1991 adalah mencakup ilmu-ilmu dasar (ilmu alam, ilmu sosial dan ilmu perilaku) ilmu biomedik, ilmu kesehatan masyarakat, ilmu dasar keperawatan, ilmu keperawatan komunitas, dan ilmu keperawatan klinis yang aplikasinya menggunakan penekatan dan metode penyelesaian masalah secara alamiah, ditujukan untuk mempertahankan, menopang, memelihara, dan meningkatkan integritas seluruh kebutuhan dasar manusia.

Definisi tersebut membuat motivasi Perawat bangkit, membara, ingin berlari, jantung berdenyut kencang, mata ”mendelik” bagai elang, rasanya lengkap sudah dalam diri Perawat. Seandainya tokoh Perawat legendaris Florence Nightingale mendengar dan menganalisa definisi tersebut, beliau akan berkata, ”Saya bangga dan hormat pada Perawat Indonesia yang mendefinisikan dirinya sebagai profesi yang utuh, yang siap mengabdikan dirinya dan berani menanggung segala resiko. Hidup Perawat.”. Semua Perawat pada era 1990 yang mengabdikan dirinya dibidang pendidikan Keperawatan akan berkata sama seperti Florence Nightingale, yang saat itu juga telah lahir beberapa S-1 Perawat (SKp). Hanya saja perkembangan tersebut tidak sinergis dengan kondisi pelayanan yang terjadi di unit-unit pelayanan kesehatan, Rumah Sakit, PusKesMas, Balai Pengobatan dimana Perawat bekerja.

Komunitas Perawat di rumah sakit yang sebagian besar berbasis pendidikan Sekolah Perawat Kesehatan(SPK), dan hanya sebagaian kecil yang berbasis DIII Perawatan (AKPER) mengalami kegalauan dan kebimbangan dalam dirinya antara definisi yang ada dengan bentuk realita pelayanan. Perawat yang berbasis D III Perawatan mulai mengenalkan model pelayanan keperawatan di rumah sakit hasil titipan para dosen perawatan dengan sebutan Asuhan Keperawatan (Askep) pada teman-teman Perawat yang berbasis SPK serta mengenalkan kepada manager-manager rumah sakit pembuat kebijakan. Mulailah muncul berbagai tanggapan antara pro dan kontra tentang Asuhan Keperawatan dalam pelayanan di Rumah Sakit. Perawat yang mempunyai mindset profesional akan menanggapi kedua tanggapan tersebut dengan arif dan bijaksana ”Perubahan perlu perjuangan dan kesinambungan perlu komitmen”, sehingga untuk mengubah lingkungan rumah sakit dalam hal ini profesi dokter yang memegang kebijakan pelayanan rumah sakit agar mengerti dan mengakui eksistensi Perawat sebagai mitra profesi menjadi makin sulit. Mengapa demikian karena Perawat sendiri yang telah meraih gelar profesi jarang yang mau terjun memberikan jasa pelayanan keperawatan secara langsung untuk berdampingan bersama-sama melayani pasien yang mengalami permasalahan kesehatan, sedangkan komunitas Perawat yang berbasis SPK dan D III Perawatan sangat menikmati budaya yang diwariskan oleh sesepuh Perawat sebagai Paramedis. Budaya tersebut meliputi nilai-nilai pelayanan (value) dan keyakinan (beliefe), tradisi, prosedur dan harapan-harapan, dari keempat tersebut yang sangat menonjol dan membuat Perawat bergantung pada dokter adalah harapan.

Harapan Perawat sebagai insan manusia yang normal, mayoritas untuk dipenuhinya kebutuhan dasar meliputi makan, minum, biologis dan lain sebagainya, yang semua itu bermuara pada upah kerja (keuangan). Bagi dokter ”uang tidak penting tapi pokok” yang sangat penting bagi dokter adalah kepuasan pasien, sehingga pasien menjadi tambang emas untuk menghasilkan uang dan 10 % hasilnya untuk menggaji pembantu rumah, transportasi, lobi, pemasaran serta seseorang yang membantu dan terlibat dalam pelayanan kepada pasien. dengan hal tersebut anda bisa menebak siapa yang membantu dalam pelayanan dokter ? Tidak lain adalah orang yang mau membantu dokter, berpenampilan seperti dokter tapi upahnya sesuai dengan keinginan dokter. Hal tersebut dibaca oleh sebagian besar Perawat sebagai peluang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya untuk mempertahan hidup dan menghidupi keluarga.

Sangat berbeda dijaman Perawat legendaris Florence Nightingale, mereka menjadi Perawat karena panggilan hatinya untuk membantu orang-orang yang menderita sakit dan tanpa memperhitungkan segi keuangan karena mereka dilahirkan dari kalangan yang bangsawan, yang melayani pasien sebagai aktualisasi diri sedangkan pada era kemajuan pendidikan Perawat di Indonesia dalam memberikan pelayanan kepada pasien karena uang untuk memenuhi kebutuhan dasar dirinya. Dengan kondisi itulah terciptalah di lembaga pelayanan kesehatan antara dokter dan Perawat dalam, ”Budaya Atasan dan Bawahan”, kalau diteropong dengan mikroskop yang tercanggih dengan lensa yang sangat tipis oleh mata masyarakat sebagai pengguna jasa kesehatan maka akan terlihat ”Budaya Majikan dan Pembantu”. Terperangkaplah Perawat dalam budaya tersebut

Untuk keluar dari kondisi tersebut, dan Anda tertarik untuk merubah Perawat sebagai Majikan dalam pelayanan dan yang lainnya adalah ”membantu Anda ” maka ikuti kajian berikutnya pada tema ” Perubahan Mindset Perawat Tranformasional untuk menciptakan peluang bisnis jasa Kesehatan” .

Sebuah tulisan kontribusi dari seorang perawat, sekarang aktif dibidang mutu dan riset RSU Banyumas, penggagas dan pendiri Komite Keperawatan di RSU Banyumas pada th 1999

Ronin Hidayat, M.Kes

MEMBANGUN PRIBADI CARING PERAWAT

Era globalisasi yang sedang dan akan kita hadapi dibidang kesehatan menimbulkan secercah harapan akan peluang (opportunity) meningkatnya pelayanan kesehatan. Terbukanya pasar bebas memberikan pengaruh yang penting dalam meningkatkan kompetisi disektor kesehatan. Persaingan antar rumah sakit memberikan pengaruh dalam manajemen rumah sakit baik milik pemerintah, swasta dan asing dengan tujuan akhir adalah untuk meningkatkan pelayanan. Tuntutan masyrakat akan pelayanan kesehatan yang memadai semakin meningkat turut meberikan warna diera globalisasi dan memacu rumah sakit untuk memberikan layanan terbaiknya agar tidak dimarginalkan oleh masyarakat.

Mutu pelayanan keperawatan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan, bahkan menjadi salah satu faktor penentu citra institusi pelayanan kesehatan (rumah sakit) di mata masyarakat. Hal ini terjadi karena keperawatan merupakan kelompok profesi dengan jumlah terbanyak, paling depan dan terdekat dengan penderitaan orang lain, kesakitan, kesengsaraan yang dialami masyarakat. Salah satu indikator mutu layanan keperawatan adalah kepuasan pasien. Perilaku Caring perawat menjadi jaminan apakah layanan perawatan bermutu apa tidak.

Beberapa tokoh keperawatan seperti Watson (1979), Leininger (1984), Benner (1989), menempatkan caring sebagai dasar dalam praktek keperawatan. Diperkirakan bahwa ¾ pelayanan kesehatan adalah caring sedangkan ¼ adalah curing. Jika perawat sebagai suatu kelompok profesi yang bekerja selama 24 jam di rumah sakit lebih menekankan caring sebagai pusat dan aspek yang dominan dalam pelayanannya maka tak dapat disangkal lagi bahwa perawat akan membuat suatu perbedaan yang besar antara caring dan curing (Marriner A-Tomey, 1998). Kenyataan yang dihadapi saat ini adalah bahwa kebanyakan perawat terlibat secara aktif dan memusatkan diri pada fenomena medik seperti cara diagnostik dan cara pengobatan.

Caring yang diharapkan dalam keperawatan adalah sebuah perilaku perawatan yang didasari dari beberapa aspek diantaranya : 1) human altruistic (mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan), 2) Menanamkan kepercayaan-harapan, 3) Mengembangkan kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain, 4) Pengembangan bantuan dan hubungan saling percaya, (5) meningkatkan dan menerima ungkapan perasaan yang positif dan negatif, (6) sistematis dalam metode pemecahan masalah (7) Pengembangan pendidikan dan pengetahuan interpersonal, (8) meningkatkan dukungan, perlindungan mental, fisik, sosial budaya dan lingkungan spiritual (9) Senang membantu kebutuhan manusia, (10) menghargai kekuatan eksistensial-phenomenologikal. (Watson, 1979).

Untuk membangun pribadi Caring, perawat dituntut memiliki pengetahuan tentang manusia, aspek tumbuh kembang, respon terhadap lingkungan yang terus berubah, keterbatasan dan kekuatan serta kebutuhan-kebutuhan manusia. Bukan berarti kalau pengetahuan perawat tentang Caring meningkat akan menyokong perubahan perilaku perawat.
Caring dalam asuhan keperawatan merupakan bagian dari bentuk kinerja perawat dalam merawat pasien. Secara teoriti ada tiga kelokmpok variabel yang mempengaruhi kinerja tenaga kesehatan diantaranya variabel individu, variabel organisasi dan psikologis. Menurut Gibson(1987) yang termasuk variabel individu adalah kemampuan dan ketrampilan, latar belakang dan demografi. Variable psikologi merupakan persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Dan variabel organisasi adalah kepemimpinan, sumber daya, imbalan struktur dan desain pekerjaan. Dengan demikian membangun pribadi Caring perawat harus menggunakan tiga pendekatan. Pendekatan individu melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan caring. Pendekatan organisasi dapat dilakukan melalui perencanaan pengembangan, imbalan atau yang terkait dengan kepuasan kerja perawat dan serta adanya effektive leadership dalam keperawatan. Peran organisasi(rumah sakit) adalah menciptakan iklim kerja yang kondusif dalam keperawatan melalui kepemmpinan yang efektif, perencanaan jenjang karir perawat yang terstruktur, pengembangan system remunerasi yang seimbang dan berbagai bentuk pencapaian kepuasan kerja perawat. Karena itu semua dapat berdampak pada meningkatnya motivasi dan kinerja perawat dalam caring.
Tidak mudah merubah perilaku seseorang dalam waktu yang singkat. Apakah orang yang lulus pendidikan tinggi melalui pendidikan berlanjut menjadi baik perilaku caring nya ? Apakah dengan iklim organisasi yang baik tiba-tiba seseorang perawat akan lebih Caring. Bukan pekerjaan yang mudah untuk merubah perilaku seseorang. Yang terbaik adalah membentuk Caring perawat sejak dini, yaitu sejak berada dalam pendidikan. Artinya peran pendidikan dalam membangun caring perawat sangat penting. Dalam penyusunan kurikulum pendidikan perawatan seyogyanya memasukkan unsur caring dalam setiap mata kuliah. Penekanan pada humansitik, kepedulian dan kepercayaan, komitmen membantu orang lain dan berbagai unsur caring yang lain harus ada dalam pendidikan perawatan. Andaikata pada saat rekruitmen sudah ada system yang bisa menemukan bagaimana sikap caring calon mahasiswa keperawatan itu akan membuat perbedaan yang mendasar antara perawat sekarang dan yang akan datang dalam perilaku caring – nya. Selain itu perlu dilakukan sosialisasi konsep caring pada perawat guna memberikan pemahaman yang mendalam tentang apa yang harus dilakukan perawat agar bersikap caring dalam setiap kontak dengan pasien. Pada akhirnya mutu asuhan keperawatan diharapkan akan terjamin dengan peningkatan periaku caring perawat


Referensi
Gibson, James L et al.(1987) Organisasi dan manajemen : perilaku, struktur dan proses, terjemahan Djarkasih Jilid 1 Penerbit Erlangga jakarta
Tomey, Marriner dan Alligood (1998) Nursing Theorists and their Work, Philadelphia : Mosby
Watson, Jean.(2004). Theory of human caring.

Diambil dari Http://www2.uchsc.edu/son/caring tanggal 1 Nopember 2007