Rabu, 05 Agustus 2009

Central Serous Chorioretinopathy


Retinopati serosa sentral merupakan kelainan pada makula lutea berupa penimbunan cairan yang mengakibatkan edema makula. Retinopati serosa sentral terutama terdapat pada dewasa muda. Laki-laki lebih banyak terkena dibanding wanita terutama yang sedang menderita stress berat, dimana tajam penglihatan akan turun secara mendadak dengan terdapatnya skotoma sentral dengan metamorfopsia.(1)

Retinopati serosa sentral atau korioretinopati serosa sentral adalah sebuah penyakit dimana terdapat ablasio serosa retina neurosensorik sebagai akibat dari kebocoran cairan setempat dari koriokapilaris melalui suatu defek di epitel pigmen retina.(2,3) Penyebab-penyebab lain bocornya epitel pigmen retina, seperti neovaskularisasi koroid, inflamasi atau tumor harus dipisahkan untuk membuat diagnosis.(2)

Retinopati serosa sentral dapat dibagi menjadi dua gambaran klinis yang berbeda. Secara klasik, retinopati serosa sentral disebabkan oleh satu atau lebih kebocoran terpisah yang berlainan pada tingkat epitel pigmen retina yang terlihat pada angiografi fluoresens. Bagaimanapun, saat ini diketahui bahwa retinopati serosa sentral dapat muncul sebagai disfungsi epitel pigmen retina difus (misal epiteliopati pigmen retina difus, retinopati serosa sentral kronik, epitel pigmen retina terdekompensasi) yang ditandai dengan lepasnya retina neurosensorik melewati area atrofi epitel pigmen retina dan pigmen mottling. Selama angiografi fluoresens area hiperfluoresens granular yang luas berisi satu atau beberapa kebocoran halus yang terlihat.(2)

RETINA

Retina merupakan suatu struktur yang sangat terorganisir, yang terdiri dari lapisan-lapisan badan sel dan prosesus sinaptik. Walaupun ukurannya kompak dan tampak sederhana apabila dibandingkan dengan struktur saraf misalnya korteks serebrum, retina memiliki daya pengolahan yang sangat canggih. Pengolahan visual retina diuraikan oleh otak, dan persepsi warna, kontras, kedalaman, dan bentuk berlangsung di korteks.(3)

Anatomi

Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan dan multi lapis yang melapisi bagian dalam 2/3 posterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare dan berakhir di tepi ora serata. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga bertumbuk dengan membran Bruch, koroid dan sklera. Di sebagian besar tempat, retina dan epitelium pigmen retina mudah terpisah hingga membentuk suatu ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasio retina. Tetapi pada diskus optikus dan ora serata, retina dan epitelium pigmen retina saling melekat kuat, sehingga membatasi perluasan cairan subretina pada ablasio retina. Hal ini berlawanan dengan ruang subkoroid yang dapat terbentuk antara koroid dan sklera, yang meluas ke taji sklera. Dengan demikian ablasi koroid meluas melewati ora serata, di bawah pars plana dan pars plikata. Permukaan dalam retina menghadap ke vitreus.(3)

Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya, adalah sebagai berikut :

  1. Membrana limitans interna
  2. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju ke nervus optikus
  3. Lapisan sel ganglion
  4. Lapisan pleksiformis dalam, yang mengandung sambungan-sambungan sel ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar
  5. Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horizontal
  6. Lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungan-sambungan sel bipolar dan sel horisontal dengan fotoreseptor
  7. Lapisan inti luar sel fotoreseptor
  8. Membrana limitans eksterna
  9. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar, batang dan kerucut
  10. Epitelium pigmen retina(3)

Fisiologi

Retina adalah jaringan paling kompleks di mata. Untuk melihat, mata harus berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, dan sebagai suatu transduser yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus dan akhirnya ke korteks penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis, terdapat hubungan hampir 1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya dan serat saraf yang keluar, dan hal ini menjamin penglihatan paling tajam. Di retina perifer, banyak fotoreseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan sistem pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti itulah makula terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fotopik) sedangkan bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik).(3)

Pemeriksaan

Retina dapat diperiksa dengan oftalmoskop langsung atau tidak langsung atau dengan slitlamp (biomikroskop) dan lensa bikonveks kontak atau genggam. Dengan alat-alat ini, secara klinis pengamat yang berpengalaman mampu memisahkan lapisan-lapisan retina untuk menentukan jenis, tingkat, dan luas suatu penyakit retina. Fotografi fundus dan angiografi fluoresens merupakan alat bantu dalam pemeriksaan klinis: fotografi memungkinkan dokumentasi untuk perbandingan kemudian, dan angiografi menghasilkan detil vaskular yang penting untuk terapi penyakit retina dengan laser.(3)

DEFENISI

Retinopati serosa sentral adalah suatu keadaan lepasnya retina dari lapis pigmen epitel di daerah makula akibat masuknya cairan melalui membran Bruch dan pigmen epitel yang inkompeten; yang nyatanya terlihat sebagai edema makula.(4,5,6)

ETIOLOGI

Retinopati serosa sentral sering disebut retinopati serosa sentral idiopatik yang artinya penyebabnya tidak diketahui.(1,6,7) Namun demikian, stres tampaknya memainkan peranan penting. Retinopati serosa sentral juga dihubungkan dengan kortisol dan kortikosteroid, dan orang dengan tingkat kortisol lebih tinggi daripada normal juga memiliki kecenderungan untuk menderita retinopati serosa sentral.(2,7)

PATOFISIOLOGI

Hipotesa patofisiologi sebelumnya termasuk transpor ion abnormal melewati epitel pigmen retina dan vaskulopati koroid fokal. Munculnya angiografi ‘hijau indosianin’ telah menyoroti pentingnya sirkulasi koroid pada patogenesis retinopati serosa sentral. Angiografi ‘hijau indosianin’ telah mendemonstrasikan area hipermeabilitas dan hiperfluoresens koroid multifokal yang mengusulkan kompromi vaskuler koroid fokal. Beberapa pengamat meyakini bahwa kompromi vaskuler koroid pertama yang kemudian mengarah pada disfungsi sekunder melalui epitel pigmen retina.(2)

Beberapa studi menggunakan elektroretinografi telah mendemonstrasikan disfungsi retinal difus bilateral bahkan ketika retinopati serosa sentral hanya aktif pada satu mata. Studi-studi ini mendukung keyakinan pada efek sistemik difus pada vaskularisasi koroid.(2)

Kepribadian tipe A, hipertensi sistemik, dan sleep apnea obstruktif mungkin duhubungkan dengan retinopati serosa sentral. Diduga patogenesisnya adalah karena meningkatnya sirkulasi kortisol dan epinefrin, yang mempengaruhi autoregulasi dari sirkulasi koroid. Lebih lanjut, Tewari dkk mendemonstrasikan pasien dengan retinopati serosa sentral yang menunjukkan terganggunya respon autonomik yang secara berarti menurunkan aktifitas parasimpatetik dan secara berarti meningkatkan aktifitas simpatik.(2)

Kortikosteroid memiliki efek langsung pada ekspresi gen reseptor adrenergik sehingga menambah efek keseluruhan katekolamin pada patogenesis retinopati serosa sentral. Berikutnya studi yang beragam telah dengan yakin melibatkan efek kortikosteroid pada perkembangan retinopati serosa sentral.(2,7)

MORTALITAS/MORBIDITAS

Ablasio retina serosa secara khusus sembuh spontan pada kebanyakan pasien. Bahkan dengan kembalinya ketajaman penglihatan sentral yang baik, banyak dari pasien-pasien ini masih terdapat diskromatopsia, hilangnya sensitivitas terhadap kontras, metamorfopsia atau yang paling jarang adalah niktalopia.(2)

Pasein dengan retinopati serosa sentral (yang ditandai dengan kebocoran setempat) memiliki resiko rekurensi 40-50℅ pada mata yang sama. Resiko terjadinya neovaskularisasi koroid yang muncul dari retinopati serosa sentral sebelumnya siperkirakan kecil (<>(2)

USIA DAN JENIS KELAMIN

Secara klasik, retinopati serosa sentral lebih sering mengenai laki-laki pada usia 20-55 tahun dengan kepribadian tipe A. Kondisi ini mempengaruhi laki-laki 6-10 kali lebih banyak dibandingkan perempuan.(2,6,10)

DIAGNOSIS

Gambaran Klinis

  • Pandangan kabur / visus menurun (1,3,4,5,6,8,9)
  • Skotoma sentral (1,2,3,4,5,6,8,9,10)
  • Mikropsia (1,2,3,4,5,6,8,9,10)
  • Metamorfopsia (1,2,3,4,5,6,8,9,10)
  • Penurunan kemampuan melihat warna dan kontras (4,5)

Pemeriksaan Klinis

  • Oftalmoskopi indirek

Pada kasus tipikal telah menunjukkan lingkaran dangkal atau peninggian oval pada retina sensoris pada kutub posterior.(8)

Lepasnya lapisan serosa retina neurosensoris, peninggian kubah jernih biasanya pada daerah perifovea, menyebabkan peningkatan relatif dalam hiperopia, penurunan yang dihubungkan pada ketajaman penglihatan tak terkoreksi dan mengubah refleks membran limitans interna.(9) Lesi ini biasanya menghilang secara spontan dalam 3 – 4 bulan.(10)

  • Biomikroskopi slitlamp

Perlu sekali dilakukan dalam menegakkan diagnosa dan menyingkirkan penyebab lain lepasnya retina sensoris (misal lubang diskus optikus, koloboma diskus optikus, tumor koroid dan membran neovaskuler subretina). Biomikroskopi menunjukkan retina sensoris yang terlepas sebagai sesuatu yang transparan dengan ketebalan yang normal. Terpisahnya retina sensoris yang terlepas tersebut dari epitel pigmen retina yang mendasarinya dapat diketahui dengan menandai bayangan semu diatas epitel pigmen retina oleh pembuluh darah retina. Pada kasus tertentu, presipitat-presipitat kecil dapat dilihat pada permukaan posterior retina sensoris yang terlepas. Kadang-kadang daerah abnormal pada epitel pigmen retina dapat juga dijumpai melalui cairan yang bocor dari koriokapiler ke dalam ruang subretina dan pada beberapa kasus terlepasnya epitel pigmen retina yang kecil dapat dijumpai dalam lapisan serosa yang lepas. Cairan subretina dapat jernih maupun keruh.(8)

  • Angiografi fluorosens (6,7,8)

Walaupun dalam banyak kasus diagnosa dibuat secara klinis, angiografi fluoresens membantu dalam membuat diagnosa pasti retinopati serosa sentral, dan dalam menyingkirkan munculnya membran neovaskuler subretina dalam kasus-kasus atipikal. Pada retinopati serosa sentral terdapat kerusakan sawar retina-darah bagian luar yang memungkinkan lewatnya molekul fluoresens bebas ke dalam ruang subretina. Pada angiografi ada 2 pola yang terlihat :

  1. Gambaran kumpulan-asap (smoke-stack)

Selama fase awal perpindahan zat kontras, bintik hiperfluoresens muncul yang kemudian membesar secara vertikal. Selama fase vena lambat, cairan memasuki ruang subretina dan naik secara vertikal (seperti kumpulan asap) dari titik kebocoran sampai mencapai batas atas lepasannya. Zat kontras kemudian menyebar ke lateral mengambil bentuk mushroom atau payung, sampai keseluruhan area yang lepas terisi.(8)

  1. Gambaran noda tinta (ink-blot)

Kadang-kadang dapat terlihat pada bintik hiperfluoresens pertama yang berangsur-angsur bertambah ukurannya sampai seluruh ruang subretina terisi.(8)

DIAGNOSA BANDING (2)

  • Degenerasi makula terkait-usia
  • Edema makula Irvine-Gass
  • Lubang makula
  • Membran neovaskular subretina
  • Neovaskularisasi koroid
  • Ablasio retina eksudatif
  • Penyakit Vogt-Koyanagi-Harada

PENATALAKSANAAN

Fotokoagulasi laser harus dipertimbangkan bagi keadaan-keadaan berikut: (1) ablasio retina serosa persisten lebih dari 4 bulan, (2) rekurensi pada satu mata dengan penurunan penglihatan akibat retinopati serosa sebelumnya, (3) munculnya penurunan penglihatan pada mata yang berlawanan akibat dari kejadian retinopati serosa sentral sebelumnya, (4) pekerjaan, atau pasien membutuhkan syarat perbaikan penglihatan segera.(2)

Keberhasilan fotokoagulasi laser tidak terbukti jelas dalam menangani tempat lepasnya dan bocornya epitel pigmen retina jika fotokoagulasi laser ditempatkan pada area fovea. Robertson dan Ilstrup (1983) mengamati bahwa fotokoagulasi laser langsung pada area kebocoran epitel pigmen retina memperpendek kejadian retinopati serosa sentral kira-kira 2 bulan. Para pengamat ini lebih lanjut mencatat bahwa tidak terdapat rekurensi dalam periode 18 bulan, dimana rekurensi sebesar 34 ℅ telah diamati pada sekelompok pasien dengan fotokoagulasi indirek atau palsu.(10)

Fotokoagulasi laser pada tempat kebocoran pada epitel pigmen retina tidak terlihat mempengaruhi hasil akhir visual secara bermakna.(2,3,8) Fotokoagulasi laser tidak mengurangi baik angka rekurensi maupun prevalensi penyakit kronik dimana perubahan epitel pigmen epitel progresif menimbulkan ancaman hilangnya penglihatan secara permanen. Bagaimanapun, fotokoagulasi laser mempercepat penyembuhan gejala dengan mempersingkat lepasnya serosa lebih cepat.(1,3,7,8)

Termoterapi transpupil telah dianjurkan sebagai alternatif dengan resiko lebih rendah dibandingkan fotokoagulasi laser pada kasus dimana kebocoran terdapat pada makula sentral.(7)

Penderita retinopati serosa sentral biasanya menemukan cara mereka sendiri untuk menangani kondisi mereka, yang mungkin termasuk mengurangi stres dan mengubah pola makan.(7)

PROGNOSIS

Retinopati serosa sentralis merupakan penyakit yang akan hilang sendiri; biasanya akan terjadi remisi lengkap dalam 6 bulan.(1,4,6,9) Retinopati serosa sentral dapat bersifat residif.(2,4,5) Sekitar 80℅ akan mengalami resolusi cairan subretina spontan dan kembali normal atau mendekati normal, dalam 1-6 bulan. 20℅ sisanya lebih lama dari 6 bulan, namun mengalami resolusi dalam 12 bulan.(8) Pada keadaan ini cairan subretina akan diserap kembali dan retina akan melekat kembali pada epitel pigmen tanpa gejala sisa subyektif yang menyolok.(4,5) Metamorfopsia, penurunan dalam penglihatan cahaya, dan perubahan dalam penglihatan warna dapat bertahan selama beberapa bulan dalam derajat yang ringan namun jarang menimbulkan kecacatan; dan mungkin juga menjadi permanen akibat serangan rekuren multipel ataupun ablasio yang lama. Ketajaman penglihatan cenderung kembali normal.(2,8,10) Jika gejala secara khusus mengganggu, fotokoagulasi laser dapat menurunkan lamanya waktu untuk resolusi.(9)

KOMPLIKASI

  • Sebagian kecil pasien mengalami neovaskularisasi koroid pada tempat kebocoran dan bekas laser. Pengamatan retrospektif kasus ini menunjukkan bahwa setengah dari pasien-pasien tersebut mungkin memiliki tanda-tanda neovaskularisasi koroid semu pada saat pengobatan. Pada pasien yang lain, resiko neovaskularisasi koroid mungkin meningkat dengan pengobatan laser.(2)
  • Ablasio retina bulosa akut dapat muncul sebaliknya pada pasien sehat dengan retinopati serosa sentral. Gambarannya dapat menyerupai penyakit Vogt-Koyanagi-Harada, ablasio retina regmatogenus, atau efusi uvea. Sebuah laporan kasus telah melibatkan penggunaan kortikosteroid pada retinopati serosa sentral sebagai faktor yang meningkatkan kemungkinan pembentukan fibrin subretina. Mengurangi dosis kortikosteroid secara bertahap akan menghasilkan perbaikan pada ablasio retina serosa.(2)
  • Dekompensasi epitel pigmen retina akibat serangan berulang akan berakibat atrofi epitel pigmen retina dan berikutnya atrofi retina. Dekompensasi epitel pigmen retina adalah manifestasi retinopati serosa sentral namun dapat juga dianggap sebagai komplikasi jangka panjang.(2)

http://ningrumwahyuni.wordpress.com/2009/06/29/central-serous-chorioretinopathy/

FLU BABI (SWINE INFLUENZA) : H1N1 virus


Flu babi (Swine influenza) adalah kasus-kasus influenza yang disebabkan oleh virus Orthomyxoviridae yang endemik pada populasi babi. Galur virus flu babi yang telah diisolasi sampai saat ini telah digolongkan sebagai Influenzavirus C atau subtipe genus Influenzavirus A (Heinen, 2003).

Babi dapat menampung virus flu yang berasal dari manusia maupun burung, memungkinkan virus tersebut bertukar gen dan menciptakan galur pandemik.

Flu babi menginfeksi manusia tiap tahun dan biasanya ditemukan pada orang-orang yang bersentuhan/kontak langsung dengan babi, meskipun ditemukan juga kasus-kasus penularan dari manusia ke manusia (Richard, 2009). Gejala virus termasuk demam, disorientasi, kekakuan pada sendi, muntah-muntah, dan kehilangan kesadaran yang berakhir pada kematian ( Flu babi diketahui disebabkan oleh virus influenza A subtipe H1N1, H1N2, H3N1, H3N2, dan H2N3.

swineflu

H1N1 virus

Di Amerika Serikat, hanya subtipe H1N1 lazim ditemukan di populasi babi sebelum tahun 1998. Namun sejak akhir Agusuts 1998, subtipe H3N2 telah diisolasi juga dari babi.

Asal Mula

Pada 5 Februari 1976, tentara di Fort Dix, Amerika Serikat menyatakan dirinya kelelahan dan lemah, kemudian meninggal dunia keesokannya. Dokter menyatakan kematiannya itu disebabkan oleh virus ini sebagaimana yang terjadi pada tahun 1918. Presiden kala itu, Gerald Ford, diminta untuk mengarahkan rakyatnya disuntik dengan vaksin, namun rencana itu dibatalkan.

Pada 20 Agustus 2007, virus ini menjangkiti seorang warga di pulau Luzon, Filipina.

Penularan antarbabi

Influenza sangat umum terdapat pada babi, dengan sekitar separuh dari babi yang diternakkan di AS dilaporkan memiliki virus ini. Antibodi terhadap virus ini juga sudah umum pada babi di negara lain.

Rute utama penularan antarbabi adalah melalui kontak antara binatang yang terinfeksi dan yang belum terinfeksi. Kontak yang sangat dekat ini umum terjadi selama pengangkutan hewan. Peternakan yang intensif juga bisa meningkatkan resiko penularan, karena babi-babi tersebut memiliki kedektan yang sangat dekat antara satu dengan yang lainnya.

Penularan langsung virus ini kemungkinan terjadi melalui bersentuhannya hidung antarbabi, atau melalui pengeringan mukus. Penularan lewat udara melalui aerosol yang dihasilkan oleh batuk babi atau bersin juga merupakan sarana yang penting dalam infeksi. Virus biasanya tersebar dengan cepat melalui perkumpulan, menginfeksi semua babi hanya dalam beberapa hari. Penularan juga bisa terjadi melalui hewan liar, seperti babi hutan, yang dapat menyebarkan penyakit antara peternakan.

Penularan pada manusia

Orang yang bekerja dengan hewan ternak dan babi, teruta,a orang-orang dengan tingkat paparan yang intens, mengalami peningkatan resiko infeksi zoonotic dengan endemi virus influenza pada binatang ini, dan membentuk populasi manusia inang dimana zoonis dan reassortment dapat terjadi. Vaksinasi bagi para pekerja ini terhadap influenza dan surveillance bagi strain influenza yang baru antara populasi ini mungkin bisa menjadi ukuran kesehatan masyarakat yang penting. Penularan influenza dari babi ke manusia yang bekerja dengan babi telah didokumentasikan pada studi surveillance kecil yang dilakukan pada tahun 2004 di Universitas Lowa. Studi ini antara bentuk yang lain menjadi dasar rekomendasi bahwa orang-orang yang pekerjaannya terlibat langsung dengan penanganan ternak dan babi menjadi fokus peningkatan surveillance kesehatan masyarakat.

Tanda dan Gejala

Menurut Pusat Pengawasan dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat, gejala influensa ini mirip dengan influensa biasa. Gejalanya seperti demam, batuk, sakit pada kerongkongan, sakit pada tubuh, kepala, panas dingin, dan lemah lesu. Beberapa penderita juga melaporkan buang air besar dan muntah-muntah.

Dalam mendiagnosa penyakit ini tidak hanya perlu melihat pada tanda atau gejala khusus, tetapi juga catatan terbaru mengenai pasien. Sebagai contoh, selama wabah flu babi 2009 di AS, CDC menganjurkan para dokter untuk melihat “apakah jangkitan flu babi pada pasien yang di diagnosa memiliki penyakit pernapasan akut memiliki hubungan dengan orang yang di tetapkan menderita flu babi, atau berada di lima negara bagian AS yang melaporkan kasus flu babi atau berada di Meksiko dalam jangka waktu tujuh hari sebelum bermulanya penyakit mereka.” Diagnosa bagi penetapan virus ini memerlukan adanya uji maksimal bagi contoh pernapasan.

Tanda-tanda pada babi :

Pada babi, infeksi influensa menyebabkan demam, lesu, bersin-bersin, batuk, kesulitan bernafas, dan penurunan nafsu makan (Khotawala et al, 2006). Pada beberapa kasus infeksi ini bisa menyebabkan aborsi/kematian janin. Meskipun tingkat kematian biasanya (sekitar 1-4%), virus ini dapat menyebabkan penurunan berat tubuh dan pertumbuhan yang buruk, yang merugikan peternak babi. Babi yang terinfeksi dapat kehilangan berat tubuh hingga 12 pon (6 kg) di atas periode 3 hingga 4 minggu.

Tanda-tanda pada manusia :

Penularan langsung virus flu babi dari babi ke manusia kadang-kadang bisa terjadi (disebut flu babi zoonotic). Secara keseluruhan, 50 kasus diketahui telah terjadi sejak laporan pertama dalam literatur medis pada tahun 1958, yang telah menimbulkan total of 6 kematian (Myers et al, 2007). Dari keenam orang ini, satu orang adalah wanita hamil, satu orang penderita leukemia, satu orang penderita penyakit Hodgkin dan 2 orang yang lain diketahui bahwa sebelumnya sehat-sehat saja. Meskipun tampaknya angka infeksi rendah, namun angka infeksi yang sebenarnya mungkin bisa lebih tinggi , karena kebnyakan kasus hanya menyebabkan penyakit yang sangat samar-samar. Dan kemungkinan tidak akan pernah dilaporkan atau didiagnosa.

Berdasarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), USA, pada manusia gejala virus H1N1 flu babi 2009 secara umum mirip dengan influenza dan penyakit mirip influenza. Gejala meliputi demam, batuk, sakit, badan nyeri, sakit kepala, menggigil dan kelelahan. Wabah pada tahun 2009 telah menunjukkan adanya peningkatan persentase pasien yang dilaporkan mengalami diare dan muntah-muntah. Virus H1N1 2009 bukanlah flu babi zoonotic, karena dia tidak ditularkan dari babi ke manusia, tetapi dari manusia ke manusia.

Pergantian Nama

Penamaan jenis penyakit ini dianggap salah oleh berbagai kalangan, karena telah membuat salah tafsir masyarakat - bahwa babi dapat menularkan penyakit ini kepada manusia. Untuk itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengganti nama penyakit ini dengan Influensa A (H1N1) mulai 30 April 2009 lalu.

VIRUS H1N1

Virus influenza A subtipe H1N1, yang juga dikenal dengan A(H1N1), adalah satu subtipe dari virus influenza Adan banyak menyebabkan penyakit influenza (flu) pada manusia. Beberapa strain H1N1 bersifat endemik pada manusia, termasuk strain yang bertanggung jawab terhadap 1918 kasus pandemi flu yang membunuh 50-100 juta orang di dunia. Strain H1N1 yang sedikit virulen masih ada secara liar saat ini, menyebabkan fraksi kecil dari penyakit mirip flu dan fraksi besar dari flu musiman. Strain H1N1 secara kasar menyebabkan separuh dari kasus infeksi flu pada tahun 2006. Dan strain H1N1 yang lain bersifat endemi pada babi dan burung.

Pada bulan Maret dan April 2009, ratusan laboratorium menemukan infeksi dan sejumlah kematian yang disebabkan oleh merebaknya strain baru dari H1N1

Nomenklatur

Straun Virus A Influenza dikategorikan berdasarkan pada kedua protein yang ditemukan pada permukaan virus tersebut, yaitu : hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N). Semua virus influenza A terdiri dari hemaglutinin dan neuraminidase, tetapi struktur protein ini berebeda antara satu strain dengan strain yang lainnya karena mutasi genetik yang cepat pada genome virus.

Strain virus influenza A ditandai dengan jumlah H dan jumlah N berdasarkan bentuk kedua protein pada strain. Ada 16 H dan 9 N subtipe yang diketahui pada burung, tapi hanya H 1, 2 dan 3, dan N 1 dan 2 yang umumnya di temukan pada manusia.

Sifat virus flu babi dan hubungannya dengan flu burung

Virus normal AI (Strain H1N1 dan H2N1) tidak akan menular secara langsung ke manusia. Virus ini mati dengan pemanasan 60oC lebih-lebih bila dimasak hingga mendidih. Bila ada babi, maka dalam tubuh babi, Virus ini dapat melakukan mutasi & tingkat virulensinya bisa naik hingga menjadi H5N1. Virus AI Strain H5N1 dapat menular ke manusia. Virus H5N1 ini pada Tahun 1968 menyerang Hongkong dan membunuh 700.000 orang (diberi nama Flu Hongkong). Di bulan April 2009 Flu Babi sedang mewabah di Meksiko dengan korban 150 orang lebih meninggal dan ribuan lainnya terinfeksi dan Amerika Serikat juga siaga sebab ada laporan warganya yang terinfeksi. Dan negara Kawasan Asia jauh lebih waspada.

Spanish Flu (Flu Spanyol)

Flu Spanyol yang juga dikenal dengan La Gripe Española, atau La Pesadilla, adalah satu strain flu burung aneh yang menyebabkan akut dan kematian, suatu penyakit infeksi virus, yang telah membunuh 50 juta hingga 100 juta manusia di penjuru dunia di atas sekitar tahun 1918 dan 1919. Hal itu dianggap sebagai pandemi paling mematikan dalam sejarah manusia. Peristiwa itu disebabkan oleh virus influenza tipe H1N1.

Flu Spanyol menyebabkan jumlah kematian yang tidak lazim karena kemungkinan menyebabkan badai sitokin dalam tubuh. (Epidemi flu burung saat ini, yang juga merupakan virus influenza A, memiliki efek yang sama) Virus flu Spanyol menginfeksi sel paru-paru, yang membawa pada overstimulasi pada sistem imun via pelepasan sitokin ke dalam jaringan paru. Hal ini menyebabkan migrasi leukosit yang ekstensif ke arah paru-paru, menyebabkan penghancuran jaringan paru-paru dan sekresi cairan ke dalam organ. Hal ini membuat pasien kesulitan dalam bernafas. Berlawanan dengan pandemi lain, yang kebanyakan ,e,bunuh orang yang tua dan terlalu muda, pandemi tahun 1918 telah membunuh jumlah orang dewasa yang tidak lazim.

Istilah flu “Spanyol” digunakan karena Spanyol saat itu adalah satu-satunya negara di Eropa yang dilaporkan oleh pers telah terjadi ledakan wabah, yang membunuh ribuan tentara yang berperang dalam Perang Dunia I.

Flu Rusia

Flu Rusia yang paling akhir terjadi yaitu epidemi flu tahun 1977-1978 yang disebabkan oleh strain Influenza A/USSR/90/77 (H1N1). Flu ini menginfeksi kebanyakan anak-anak dan remaja di bawah 23 tahun karena strain yang sama menjadi lebih lazim pada tahun 1947-1957, menyebabkan paling banyak orang dewasa memiliki imunitas substansial. Beberapa menyebutnya sebuah pandemi flu tetapi karena ia hanya mempengaruhi anak muda flu ini tidak dianggap sebagai pandemi sejati. Virus ini termasuk dala, vaksin influenza 1978-1979.

Flu Amerika Utara

Peledakan wabah flu babi skala kecil terjadi pada manusia pada tahun 1976 dan 1988, dan pada babi pada tahun 1998 dan 2007.

Pada wabah flu babi tahun 2009, virus yang telah diisolasi dari pasien di Amerika Serikat diketahui terbentuk dari unsur genetik dari 4 virus flu yang berbeda- North American Mexican influenza, North American avian influenza, human influenza, dan swine influenza virus yang khususnya dijumpai di Asia dan Eropa- sebuah campuran sekuen genetik yang tidak lazim. Strain baru ini muncul sebagai hasil dari pencampuran virus influenza manusia dan influenza babi, pada semua keempat strain yang berbeda dari subtipe H1N1. Akan tetapi, karena belum diisolasi pada binatang saat itu dan juga alasan penaman sejarah, Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (OIE) menyarankan flu ini disebut “North-American influenza (Flu Amerika Utara)”. Pada 30 April 2009, World Health Organization (WHO) mulai menganggapnya sebagai Influenza A(H1N1)”. Beberapa sekuen genom lengkap pada kasus Flu Rusia yang secara cepat membuat tersedia melalui Global Initiative on Sharing Avian Influenza Data (GISAID). Karakterisasi genetik pendahuluan menmukan bahwa gen hemaglutinin (HA) mirip dengan virus flu babi yang ada pada babi Uni Sovyet sejak 1999, tetapi gen neuraminidase (NA) dan matriks protein (M) menyerupai versi terbaru di isolat flu babi eropa. Enam gen dari flu babi adalah campuran dari virus flu babi itu sendiri, flu burung, dan flu manusia.

Flu Babi dalam Perspektif PBB

Komisi Darurat, yang dibentuk dalam pelaksanaan International Health Regulations (2005), mengadakan pertemuan keduanya pada tanggal 27 April 2009. Komisi ini membahas data yang muncul pada konfirmasi penyebaran flu babi A/H1N1 di Amrika Serikat, Meksiko, dan Kanada. Komisi ini juga mempertimbangkan laporan adanya kemungkinan penyebaran ke negara lain. Dirjen WHO memutuskan hal-hal sebagai berikut :

  • Dirjen telah menaikkan tingkat status siaga pandemi influenza dari fase 3 ke fase 4

Perubahan ke status fase pandemi yang lebih tinggi menandakan bahwa kewasapadaan terhadap pandemi telah ditingkatkan, tetapi bukan berarti pandemi dapat dihindarkan.

Jika informasi yang lebih jauh sudah tersedia, WHO bisa saja memutuskan apakah harus mengembalikan ke fase 3 atau menaikkan tingkat kewaspadaan ke fase yang lain.

Keputusan ini menjadi dasar utama pada data epidemologi yang mendemonstrasikan transmisi dari manusia ke manusia dan kemampuan virus untuk menyebabkan penyebaran tingkat komunitas.

  • Adanya penyebaran virus, Dirjen memperkirakan bahwa pencegahan penyebaran tidak dapat dilakukan. Fokus saat ini baru diarahkan ke pengurangan ukuran daerah penyebaran.
  • Dirjen merekomendasikan agar tidak menutup daerah perbatasan dan tidak menolak perjalanan internasional. Lebih bijaksana bagi orang-orang yang sakit untuk menunda perjalanan internasional dan untuk orang-orang yang mengalami perkembangan gejala supaya mengikuti perjalanan internasional untuk mencari perhatian medis.
  • Dirjen memperkirakan bahwa produksi vaksin influenza musiman harus diterukan saat ini, dengan tujuan untuk re-evaluasi. WHO akan memfasilitasi proses yang dibutuhkan untuk mengembangkan vaksin yang efektif melawan virus A(H1N1).
  • Dirjen menekankan bahwa semua pengukuran harus mematuhi/sesuai dengan tujuan dan lingkup Internasional Health Regulations.

http://sutikno.blog.uns.ac.id/2009/06/04/flu-babi-swine-influenza-h1n1-virus/

Selasa, 21 Juli 2009

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN CEREBRAL PALSY

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Setiap orangtua tentu menginginkan anaknya lahir dengan sempurna, memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang layak. Ketika hal tersebut tidak terpenuhi, tak jarang di antara mereka yang kecewa bahkan tidak ingin menyekolahkan anaknya yang berkebutuhan khusus.

Sebenarnya tidak ada anak cacat melainkan anak berkebutuhan khusus, karena anak-anak yang dianggap cacat itu sebenarnya sama saja dengan anak-anak pada umumnya, punya kelebihan dan kekurangan. Tetapi karena pemahaman sebagian masyarakat yang kurang, maka masyarakatlah yang memberi label cacat itu.

Untuk itu perlu dipahami sebuah pendekatan kepada masyarakat bahwa mereka yang mempunyai keterbatasan ada dalam lingkungan mereka, sama-sama mempunyai hak yang sama dengan anak yang normal pada umumnya.

Jika kita melihat anak-anak yang mengalami kecacatan mental, mungkin kita beranggapan bahwa mereka mengalami jenis kecacatan mental yang sama. Namun kita harus mengetahui kecacatan mental yang dialami anak-anak tersebut berbeda penyebabnya yang dalam hal ini adalah cerebral palsy.

Walaupun perkembangan dan kemajuan dalam bidang obstetrik dan perinatologi akan mengakibatkan penurunan angka kematian bayi yang pesat, namun tidak dapat mencegah peningkatan jumlah anak cacat. Ini disebabkan, meskipun bayi berhasil diselamatkan dari keadaan gawat, akan tetapi biasanya meninggalkan gejala sisa akibat kerusakan jaringan otak yang gejala-gejalanya dapat terlihat segera ataupun di kemudian hari.

Cerebral Palsy adalah salah satu gejala sisa yang cukup banyak dijumpai. Istilah Cerebral Palsy (CP) pertama kali dikemukakan oleh Phelps. Cerebral : yang berhubungan dengan otak; Palsy : ketidaksempurnaan fungsi otot. Dalam kepustakaan, CP sering juga disebut diplegia spastik, tetapi nama ini kurang tepat, sebab CP tidak hanya bermanifestasi spastik dan mengenai 2 anggota gerak saja, tetapi juga dapat ditemukan dalam bentuk lain dan dapat mengenai ke 4 anggota gerak. Nama lain ialah : Little’s disease, oleh karena dokter John Little adalah orang yang pertama pada pertengahan abad ke 19 menguraikan gambaran klinik CP.

Makalah ini menguraikan secara singkat : definisi, insidensi, etiologik, neurofisiologik dan patologik, gambaran klinik dan klasifikasi, diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan khusus, penanganan, pencegahan dan prognosis CP.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakang makalah diatas, kami ingin menguraikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

  1. Apa pengertian dari Cerebral Palsy ?
  2. Bagaimana insidensi dari kasus Cerebral Palsy ?
  3. Apa etiologi dari Cerebral Palsy ?
  4. Apa saja gejala klinis pada klien yang mengalami Cerebral Palsy ?
  5. Bagaimana Penatalaksanaannya ?
  6. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada klien dengan Cerebral Palsy ?

C. TUJUAN

Tujuan penulisan makalah dengan studi kepustakaan ini adalah :

1. Agar mahasiswa mampu memahami dan mengetahui tentang permasalahan yang timbul pada kasus Cerebral Palsy.

2. Memperoleh pemahaman konsep yang benar tentang Cerebral Palsy sehingga nantinya dapat diterapkan dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien.

3. Asuhan keperawatan yang kita berikan akan lebih bermutu bila ada keseimbangan antara pengetaahuan teori dan kecakapan praktice.

4. Memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Pediatrik.

BAB II

KONSEP DASAR

A. DEFINISI

Berbagai definisi telah dikemukakan oleh para sarjana. Clark (1964) mengemukakan, yang dimaksud dengan CP ialah suatu keadaan kerusakan jaringan otak pada pusat

motorik atau jaringan penghubungnya, yang kekal dan tidak progresif, yang terjadi pada masa prenatal, saat persalinan atau sebelum susunan saraf pusat menjadi cukup matur, ditandai dengan adanya paralisis, paresis, gangguan kordinasi atau kelainan-kelainan fungsi motorik. Pada tahun 1964 World Commission on Cerebral Palsy mengemukakan definisi CP sebagai berikut : CP adalah suatu kelainan dari fungsi gerak dan sikap tubuh yang disebabkan karena adanya kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya. Sedangkan Gilroy dkk (1975), mendefinisikan CP sebagai suatu sindroma kelainan dalam cerebral control terhadap fungsi motorik sebagai akibat dari gangguan perkembangan atau kerusakan pusat motorik atau jaringan penghubungnya dalam susunan saraf pusat.

Definisi lain : CP ialah suatu keadaan kerusakan jaringan otak yang kekal dan tidak progresif, terjadi pada waktu masih muda (sejak dilahirkan), dan merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran klinik yang dapat berubah selama hidup, dan menunjukkan kelainan dalam sikap dan pergerakan, disertai kelainan neurologik berupa kelumpuhan spastik, gangguan ganglia basalis dan serebelum.

B. INSIDENSI

Para peneliti dari berbagai negara melaporkan insidensi yang berbeda-beda yaitu: 1,3 per 1000 kelahiran di Denmark (Erik Hansen); 5 per 1.000 anak di Amerika Serikat (Gilroy), dan 7 per 100.000 kelahiran di Amerika (Phelps); 6 per 1.000 kelahiran hidup di Amerika (Ingram, 1955 dan Kurland,1957). Di Indonesia, belum ada data mengenai insidensi CP. Pada KONIKA V Medan (1981), R. Suhasim dan Titi Sularyo melaporkan 2,46% dari jumlah penduduk Indonesia menyandang gelar cacat, dan di antaranya ± 2 juta adalah anak. CP merupakan jenis cacat pada anak yang terbanyak dijumpai. Di Jaipur, Meenakshi Sharma dkk (1981) menyelidiki 219 CP, 150 di antaranya adalah laki-laki dan 69 perempuan. Terdiri dari 42 anak umur kurang 1 tahun, 113 antara 1 - 5 tahun, 52 antara 5 - 10 tahun dan 12 di atas 10 tahun.

Angka kejadiannya sekitar 1 – 5 per 1000 anak. Laki-laki lebih banyak dari pada wanita. Sering terdapat pada anak pertama, mungkin anak pertama lebih sering mengalami kesulitan pad waktu dilahirkan. Angka kejadiannya lebih tinggi pada bayi BBLR dan anak kembar. Umur ibu sering lebih dari 40 tahun, lebih-lebih pada multipara.

Franky (1994) pada penelitiannya di RSUP Sanglah Denpasar, mendapatkan bahwa 58,3 % penderita cerebral palsy yang diteliti adalah laki-laki, 62,5 % anak pertama, umur ibu semua dibawah 30 tahun, 87,5 % berasal dari persalinan spontan letak kepala dan 75 % dari kehamilan cukup bulan.

C. ETIOLOGI

CP bukan merupakan satu penyakit dengan satu penyebab. CP merupakan group penyakit dengan masalah mengatur gerakan, tetapi dapat mempunyai penyebab yang berbeda. Untuk menentukan penyebab CP, harus digali mengenai hal : bentuk CP, riwayat kesehatan ibu dan anak, dan onset penyakit.

Di USA, sekitar 10 – 20 % disebabkan karena penyakit setelah lahir (prosentase tersebut akan lebih tinggi pada negara-negara yang belum berkembang). CP dapat juga merupakan hasil dari kerusakan otak pada bulan-bulan pertama atau tahun-tahun pertama kehidupan yang merupakan sisa dari infeksi otak, misalnya meningitis bakteri atau enchepalitis virus, atau merupakan hasil dari trauma kepala yang sering akibat kecelakaan lalu lintas, jatuh atau penganiayaan anak.

Sebab-sebab yang dapat menimbulkan CP pada umulnnya secara kronologis dapat dikelompokkan sebagai berikut :

{ Prenatal :

· gangguan pertumbuhan otak

· penyakit metabolisme

· penyakit plasenta

· penyakit ibu : toksemia gravidarum, toksopiasmosis, rubella, sifilis dan radiasi

{ Natal :

· partus lama

· trauma kelahiran dengan perdarahan subdural

· prematuritas

· penumbungan atau lilitan talipusat

· atelektasis yang menetap

· aspirasi isi lambung dan usus

· sedasi berat pada ibu

{ Post natal :

· penyakit infeksi : ensefalitis

· lesi oleh trauma, seperti fraktur tengkorak

· hiperbilirubinemia/kernikterus

· gangguan sirkulasi darah seperti emboli/trombosis otak

FAKTOR RESIKO

Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP semakin besar antara lain adalah :

1. Letak sungsang.

2. Proses persalinan sulit.

Masalah vaskuler atau respirasi bayi selamaa persalinan merupakan tanda awal yang menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak bayi tidak berkembang secara normal. Komplikasi tersebut dapat menyebabkan kerusakan otak permaanen.

3. Apgar score rendah.

Apgar score yang rendah hingga 10 – 20 menit setelah kelahiran.

4. BBLR dan prematuritas.

Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir <>

5. Kehamilan ganda.

6. Malformasi SSP.

Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan malformasi SSP yang nyata, misalnya lingkar kepala abnormal (mikrosefali). Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah telah terjadi pada saat perkembangan SSP sejak dalam kandungan.

7. Perdarahaan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir kehamilan.

Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10 kehamilan dan peningkatan jumlah protein dalam urine berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CP pada bayi.

8. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.

9. Kejang pada bayi baru lahir.

D. NEUROFISIOLOGIK DAN PATOLOGIK

Perubahan neuropatologik pada CP bergantung pada patogenesis, derajat dan lokalisasi kerusakan dalam susunan saraf pusat (SSP). Semua jaringan SSP peka terhadap kekurangan oksigen. Kerusakan yang paling berat terjadi pada neuron, kurang pada neuroglia dan jaringan penunjang (supporting tissue) dan paling minimal pada pembuluh darah otak. Derajat kerusakan ada hubungannya acute neuronal necrosis tanpa kerusakan pada neuroglia. Penyembuhan terjadi dengan fagositosis bagian yang nekrotik, proliferasi neuroglia dan pembentukan jaringan parut yang diikuti dengan retraksi sekunder. Pada hipoksia yang lebih berat, terjadi kerusakan baik pada neuron maupun neuroglia, mengakibatkan terjadinya daerah dengan perlunakan, penyembuhan yang lambat, atrofi dan pembentukan jaringan parut yang luas. Kerusakan-kerusakan yang paling berat terjadi pada bagian SSP yang sangat peka terhadap hipoksia yaitu korteks serebri, agak kurang pada ganglia basalis dan serebelum, sedangkan batang otak dan medula spinalis mengalami kerusakan yang lebih ringan. Perdarahan ringan oleh trauma persalinan biasanya diabsorpsi tanpa kerusakan yang menetap. Hematoma subdural yang biasanya unilateral tersering ditemukan pada bagian verteksi dekat sinus longitudinalis, menyebabkan kerusakan jaringan otak yang berada di bawahnya oleh karena nekrosis tekanan, menghasilkan ensefalo malaria yang akhirnya terjadi atrofi dan pembentukan jaringan parut. Perdarahan intraserebral jarang menghasilkan porencephalic cavity.

.

Menurut Perlstein dan Barnett, suatu trauma kepala dan perdarahan intrakranial pada umumnya akan melibatkan sistem piramidal, sedangkan anoksia terutama mengenai sistem ekstrapiramidal. Manifestasi klinik kelainan ini bergantung pada hebatnya dan

lokalisasi lesi yang terjadi, apakah ia di korteks serebri, ganglia basalis ataukah di serebelum. Kernikterus menyebabkan kerusakan pada masa nukleus yang dalam, ditandai dengan warna kuning, kerusakan berupa nekrosis dan lisis neuron yang diikuti dengan proliferasi neuroglia dan pengerutan yang hebat. Pada kelainan bawaan otak, misalnya agenesis/hipogenesis bagian-bagian otak dan hidrosefalus, akan terjadi gangguan perkembangan.

E. GAMBARAN KLINIS DAN KLASIFIKASI

Manifestasi klinik CP bergantung pada lokalisasi dan luasnya jaringan otak yang mengalami kerusakan, apakah pada korteks serebri, ganglia basalis atau serebelum. Dengan demikian secara klinik dapat dibedakan 3 bentuk dasar gangguan motorik pada CP, yaitu : spastisitas, atetosis dan ataksia.

a) Spastisitas.

Spastisitas terjadi terutama bila sistem piramidal yang mengalami kerusakan, meliputi 50--65% kasus CP. Spastisitas ditandai dengan hipertoni, hiperrefleksi, klonus, refleks patologik positif. Kelumpuhan yang terjadi mungkin monoplegi, diplegi/hemiplegi, triplegi atau tetraplegi. Kelumpuhan tidak hanya mengenai lengan dan tungkai, tetapi juga otot-otot leher yang berfungsi menegakkan kepala.

b) Atetosis.

Atetosis meliputi 25% kasus CP, merupakan gerakan-gerakan abnormal yang timbul spontan dari lengan, tungkai atau leher yang ditandai dengan gerakan memutar mengelilingi sumbu "kranio-kaudal", gerakan bertambah bila dalam keadaan emosi. Kerusakan terletak pada ganglia basalis dan disebabkan oleh asfiksi berat atau jaundice.

c) Ataksia.

Bayi/anak dengan ataksia menunjukkan gangguan koordinasi, gangguan keseimbangan dan adanya nistagmus. Anak berjalan dengan langkah lebar, terdapat

intention tremor meliputi ± 5%. Lokalisasi lesi yakni di serebelum.

d) Rigiditas.

Merupakan bentuk campuran akibat kerusakan otak yang difus. Di samping gejala-gejala motorik, juga dapat disertai gejala-gejala bukan motorik, misalnya gangguan perkembangan mental, retardasi pertumbuhan, kejang-kejang, gangguan sensibilitas, pendengaran, bicara dan gangguan mata.

Gangguan Pendengaran

Terdapat pda 5 – 10 % anak dengan Cerebral Palsy. Gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi nada tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata.

Gangguan Bicara

Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retardasi mental. Gerakan yang terjadi dengan sendirinya di bibir dan lidah menyebabkan sukar mengontrol otot-otot tersebut sehingga anak sulit membentuk kata-kata dan sering tampak anak berliur.

Gangguan Mata

Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi. Pada keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak. Hampir 25 % penderita Cerebral Palsy menderita kelainan mata.

Berdasarkan manifestasi klinik CP, American Acedemy for Cerebral Palsy mengemukakan klasifikasi sebagai berikut.

Klasifikasi neuromotorik

1. Spastik, ialah adanya penambahan pada stretch reflex dan deep tendon reflex

meninggi pada bagian-bagian yang terkena.

  1. Atetosis, karakteristik ialah gerakan-gerakan lembut menyerupai cacing, involunter, tidak terkontrol dan tidak bertujuan.
  2. Rigiditas. Jika bagian yang terkena digerakkan akan ada tahanan kontinu, baik dalam otot agonis maupun antagonis. Menggambarkan adanya sensasi membongkokkan "pipa timah" (lead pipe rigidity).
  3. Ataksia. Menunjukkan adanya gangguan keseimbangan dalam ambulasi.
  4. Tremor. Gerakan-gerakan involunter, tidak terkendali, reciprocal dengan irama yang teratur.
  5. Mixed.

Distribusi topografik dari keterlibatan neuromotorik

1. Paraplegi. Yang terkena ialah ekstremitas inferior, selalu tipe spastik.

2. Hemiplegi. Terkena hanya 1 ekstremitas inferior dan 1 superior pada pihak yang sama. Hampir selalu spastik, kadang-kadang ada yang atetosis.

3. Triplegi. Terkena 3 ekstremitas, biasanya spastik.

4. Quadriplegi atau tetraplegi. Terkena semua ekstremitas.

Klasifikasi berdasarkan beratnya. lalah berdasarkan beratnya keterlibatan neuromotorik yang membatasi kemampuan penderita untuk menjalankan aktifitas untuk keperluan hidup (activities of daily living).

1. Ringan. Penderita tidak memerlukan perawatan oleh karena ia tidak mempunyai problema bicara dan sanggup mengerjakan keperluan sehari-hari dan dapat bergerak tanpa memakai alat-alat penolong.

2. Sedang. Penderita memerlukan perawatan oleh karena ia tidak cakap untuk memelihara diri, ambulasi dan bicara. Ia memerlukan brace dan alat-alat penolong diri.

3. Berat. Penderita memerlukan perawatan. Derajat keterlibatan demikian hebat, sehingga prognosis untuk memelihara diri, ambulasi dan bicara adalah jelek.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Diagnosis dini dan tepat adanya lesi di otak sangat penting sebagai dasar dalam seleksi prosedur-prosedur terapeutik yang akan diambil.

Pada anamnesis perlu diketahui mengenai riwayat prenatal, persalinan dan post natal yang dapat dikaitkan dengan adanya lesi otak. Tahap-tahap perkembangan fisik anak harus ditanyakan, umpamanya kapan mulai mengangkat kepala, membalik badan, duduk, merangkak, berdiri dan berjalan.

Pada pemeriksaan fisik diperhatikan adanya spastisitas lengan/tungkai, gerakan involunter, ataksia dan lain-lain. Adanya refleks fisiologik seperti refleks moro dan

tonic neck reflex pada anak usia 4 bulan harus dicurigai adanya CP, demikian pula gangguan penglihatan, pendengaran, bicara dan menelan, asimetri dari kelompok otot-otot, kontraktur dan tungkai yang menyilang menyerupai gunting.

DIAGNOSIS BANDING

CP perlu dibedakan dengan : proses degenerasi SSP, miopati, neuropati, tumor medula spinalis, tumor otak, hidrosefalus, poliomielitik atipik, idiocy, trauma otak atau saraf perifer, korea sydenham s, subdural higroma dan tumor intrakranial.

G. PEMERIKSAAN KHUSUS

Untuk menyingkirkan diagnosis banding maupun untuk keperluan penanganan penderita, diperlukan beberapa pemeriksaan khusus. Pemeriksaan yang sering dilakukan, ialah :

  1. Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah diagnosis CP ditegakkan.
  2. Pungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan suatu proses degeneratif. Pada CP likuor serebrospinalis normal.
  3. Pemeriksaan Elektro Ensefalografi dilakukan pada penderita kejang atau pada golongan hemiparesis baik yang berkejang maupun yang tidak.
  4. Foto kepala (X-ray) dan CT Scan.
  5. Penilaian psikologik perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pendidikan yang diperlukan.
  6. Pemeriksaan metabolik untuk menyingkirkan penyebab lain retardasi mental.

Selain pemeriksaan di atas, kadang-kadang diperlukan pemeriksaan arteriografi dan pneumoensefalografi individu.

Untuk memperoleh hasil yang maksimal, penderita CP perlu ditangani oleh suatu

Team yang terdiri dari: dokter anak, ahli saraf, ahli jiwa, ahli bedah tulang, ahli fisioterapi, occupational therapist,guru luar biasa, orang tua penderita dan bila perlu ditambah dengan ahli mata, ahli THT, perawat anak dan lain-lain.

H. PENATALAKSANAAN

Pada umumnya penanganan penderita CP meliputi :

1) Reedukasi dan rehabilitasi.

Dengan adanya kecacatan yang bersifat multifaset, seseorang penderita CP perlu mendapatkan terapi yang sesuai dengan kecacatannya. Evaluasi terhadap tujuan perlu dibuat oleh masing-masing terapist. Tujuan yang akan dicapai perlu juga disampaikan kepada orang tua/famili penderita, sebab dengan demikian ia dapat merelakan anaknya mendapat perawatan yang cocok serta ikut pula melakukan perawatan tadi di lingkungan hidupnya sendiri. Fisio terapi bertujuan untuk mengembangkan berbagai gerakan yang diperlukan untuk memperoleh keterampilan secara independent untuk aktivitas sehari-hari. Fisio terapi ini harus segera dimulai secara intensif. Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita sewaktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan. Fisio terapi dilakukan sepanjang hidup penderita. Selain fisio terapi, penderita CP perlu dididik sesuai dengan tingkat inteligensinya, di Sekolah Luar Biasa dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak yang normal. Di Sekolah Luar Biasa dapat dilakukan speech therapy dan occupational therapy yang disesuaikan dengan keadaan penderita. Mereka sebaiknya diperlakukan sebagai anak biasa yang pulang ke rumah dengan kendaraan bersanrm-sama sehingga tidak merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah melindungi anak secara berlebihan dan untuk itu pekerja sosial dapat membantu di rumah dengan melihat seperlunya.

2) Psiko terapi untuk anak dan keluarganya.

Oleh karena gangguan tingkah laku dan adaptasi sosial sering menyertai CP, maka psiko terapi perlu diberikan, baik terhadap penderita maupun terhadap keluarganya.

3) Koreksi operasi.

Bertujuan untuk mengurangi spasme otot, menyamakan kekuatan otot yang antagonis, menstabilkan sendi-sendi dan mengoreksi deformitas. Tindakan operasi lebih sering dilakukan pada tipe spastik dari pada tipe lainnya. Juga lebih sering dilakukan pada anggota gerak bawah dibanding -dengan anggota gerak atas. Prosedur operasi yang dilakukan disesuaikan dengan jenis operasinya, apakah operasi itu dilakukan pada

saraf motorik, tendon, otot atau pada tulang.

4) Obat-obatan.

Pemberian obat-obatan pada CP bertujuan untuk memperbaiki gangguan tingkah laku, neuro-motorik dan untuk mengontrol serangan kejang.

Pada penderita CP yang kejang. pemberian obat anti kejang memeerkan hasil yang baik dalam mengontrol kejang, tetapi pada CP tipe spastik dan atetosis obat ini kurang berhasil. Demikian pula obat muskulorelaksan kurang berhasil menurunkan tonus otot pada CP tipe spastik dan atetosis. Pada penderita dengan kejang diberikan maintenance anti kejang yang disesuaikan dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin dan sebagainya. Pada keadaan tonus otot yang berlebihan, obat golongan benzodiazepine, misalnya : valium, librium atau mogadon dapat dicoba. Pada keadaan choreoathetosis diberikan artane. Tofranil (imipramine) diberikan pada keadaan depresi. Pada penderita yang hiperaktif dapat diberikan dextroamphetamine 5 -- 10 mg pada pagi hari dan 2,5 -- 5 mg pada waktu tengah hari.

I. PENCEGAHAN

Pencegahan merupakan usaha yang terbaik. CP dapat dicegah dengan jalan menghilangkan faktor etiologik kerusakan jaringan otak pada masa prenatal, natal dan post natal. Sebagian daripadanya sudah dapat dihilangkan, tetapi masih banyak pula yang sulit untuk dihindari. "Prenatal dan perinatal care" yang baik dapat menurunkan insidens CP. Kernikterus yang disebabkan "haemolytic disease of the new born" dapat dicegah dengan transfusi tukar yang dini, "rhesus incompatibility" dapat dicegah dengan pemberian "hyperimmun anti D immunoglobulin" pada ibu-ibu yang mempunyai rhesus negatif. Pencegahan lain yang dapat dilakukan ialah tindakan yang segera pada keadaan hipoglikemia, meningitis, status epilepsi dan lain-lain.

J. PROGNOSIS

Prognosis bergantung pada banyak faktor, antara lain : berat ringannya CP, cepatnya diberi pengobatan, gejala-gejala yang menyertai CP, sikap dan kerjasama penderita, keluarganya dan masyarakat. Menurut Nelson WE dkk (1968), hanya sejumlah kecil penderita CP yang dapat hidup bebas dan menyenangkan, namun Nelson KB dkk (1981) dalam penyelidikannya terhadap 229 penderita CP yang.didiagnosis pada usia 1 tahun, ternyata setelah berumur 7 tahun 52% di antaranya telah bebas dari gangguan motorik. Dilaporkan pula bahwa bentuk CP yang ringan, monoparetik, ataksik, diskinetik dan diplegik yang lebih banyak mengalami perbaikan. Penyembuhan juga lebih banyak ditemukan pada golongan anak kulit hitam dibanding dengan kulit putih. Di negara maju, misalnya diInggris dan Scandinavia, terdapat 20--25% penderita CP bekerja sebagai buruh harian penuh dari 30--50% tinggal di" Institute Cerebral Palsy". Makin banyak gejala penyerta dan makin berat gangguan motorik, makin buruk prognosis. Umumnya inteligensi anak merupakan petunjuk prognosis, makin cerdas makin baik prognosis. Penderita yang sering kejang dan tidak dapat diatasi dengan anti kejang mempunyai prognosis yang jelek. Pada penderita yang tidak mendapat pengobatan, perbaikan klinik yang spontan dapat terjadi walaupun lambat. Dengan seringnya anak berpindah-pindah tempat, anggota geraknya mendapat latihan bergerak dan penyembuhan dapat terjadi pada masa kanak-kanak. Makin cepat dan makin intensif pengobatan maka hasil yang dicapai makin lebih baik. Di samping faktor-faktor tersebut di atas, peranan orang tua/keluarga dan masyarakat juga ikut menentukan prognosis. Makin tinggi kerjasama dan penerimaannya maka makin baik prognosis.

BAB III

PATHOFISIOLOGI NURSING PATHWAY


BAB IV

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Biodata

  • Laki-laki lebih banyak dari pada wanita.
  • Sering terjadi pada anak pertama è kesulitan pada waktu melahirkan.
  • Kejadin lebih tinggi pada bayi BBLR dan kembar.
  • Umur ibu lebih dari 40 tahun, lebih-lebih pada multipara.

2. Riwayat kesehatan.

Riwayat kesehaataan yang berhubungan dengan factor prenatal, natal dan post natal serta keadaan sekitar kelaahiran yang mempredisposisikan anoksia janin.

3. Keluhan dan manifestasi klinik

Observasi adanya manivestasi cerebral palsy, khususnya yang berhubungan dengan pencapaian perkembangan :

  • Perlambatan perkembangan motorik kasar

Manifestasi umum, pelambatan pada semua pencapaian motorik, meningkat sejalan dengan pertumbuhan.

  • Tampilan motorik abnormal

Penggunaan tangan unilateral yang terlaalu dini, merangkaak asimetris abnormal, berdiri atau berjinjit, gerakan involunter atau tidak terkoordinasi, menghisap buruk, kesulitan makaan, sariawan lidah menetap.

  • Perubahan tonus otot

Peningkatan ataau penurunan tahanan pada gerakan pasif, postur opistotonik (lengkung punggung berlebihan), merasa kaku dalam memegang atau berpakaian, kesulitan dalam menggunakan popok, kaku atau tidak menekuk pada pinggul dan sendi lutut bila ditarik ke posisi duduk (tanda awal).

  • Posture abnormal

Mempertahankan agar pinggul lebih tinggi dari tubuh pada posisi telungkup, menyilangkan ataau mengekstensikan kaki dengan telapak kaki plantar fleksi pada posisi telentang, postur tidur dan istirahat infantile menetap, lengan abduksi pada bahu, siku fleksi, tangan mengepal.

  • Abnormalitas refleks

Refleks infantile primitive menetap (reflek leher tonik ada pada usia berapa pun, tidak menetap diatas usia 6 bulan), Refleks Moro, plantar, dan menggenggam menetaap atau hiperaktif, Hiperefleksia, klonus pergelangan kaki dan reflek meregang muncul pada banyak kelompok otot pada gerakan pasif cepat.

  • Kelainan penyerta (bias ada, bisa juga tidak).

Pembelajaran dan penalaran subnormal (retardasi mental pada kira-kira dua pertiga individu).

Kerusakan perilaku dan hubungan interpersonal

Gejala lain yang juga bisa ditemukan pada CP:
- Kecerdasan di bawah normal
- Keterbelakangan mental
- Kejang/epilepsi (terutama pada tipe spastik)
- Gangguan menghisap atau makan
- Pernafasan yang tidak teratur
- Gangguan perkembangan kemampuan motorik (misalnya menggapai sesuatu, duduk, berguling, merangkak, berjalan)
- Gangguan berbicara (disartria)
- Gangguan penglihatan
- Gangguan pendengaran
- Kontraktur persendian
- Gerakan menjadi terbatas.

4. Pemeriksaan penunjang

(Bisa dilihat pada konsep dasar).

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

  1. Resiko terhadap perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan disfagia sekunder terhadap gangguan motorik mulut.
  2. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas.
  3. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan ketidak mampuan mengontrol gerakan sekunder terhadap spastisitas.
  4. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengaan kerusakaan kemampuan untuk mengucap kata-kata yang berhubungan dengan keterlibatan otot-otot fasial sekunder adanya rigiditas.

C. INTERVENSI, RASIONAL DAN EVALUASI

1. Resiko terhadap perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan disfagia sekunder terhadap gangguan motorik mulut.

Tujuan :

Anak berpartisipasi dalam aktivitas makan sesuai kemampuannya

Anak mengkonsumsi jumlah yang cukup

Intervensi :

Berikan nutrisi dengan cara yang sesuai dengan kondisi anak

Catat masukan dan haluaran

Pantau pemberian makan intravena (bila diinstruksikan)

Berikan formula makanan yang ditentukan dengan selang nasogastrik (sesuai indikasi)

Berika anak beberapa otonomi dalam cara makan pasif

Baringkan pasien dengan kepala tempat tidur 30-45 derajat, posisi duduk dan menegakkan leher

R/ posisi ideal saat makan sehingga menurunkan resiko tersedak

Libatkan dalam pemilihan makanan dan urutan makan yang dihidangkan (dalam batasan diet dan nutrisi)

Berikan makanan semipadat dan cairan melalui sedotan untuk anak yang berbaring pada posisi telungkup

R/ mencegah aspirasi dan membuat makan/minum menjadi lebih mudah

Berikan makanan daan kudapaan tinggi kalori dan tinggi protein

R/ memenuhi kebutuhan tubuh untuk metabolisme dan pertumbuhan

Beri makanan yang disukai anak

R/ mendorong anak agar mau makan

Perkaya makanan dengan suplemen nutrisi mis.susu bubuk atau suplemen yang lain

R/ memaksimalkan kualitas asupan makanan

Pantau berat badan dan pertumbuhan

R/ intervensi pemberian nutrisi tambahan dapat diimpementasikan bila pertumbuhan mulai melambat dan berat badan menurun

Lakukan higiene oral setiap 4 jam dan setelah makan

Evaluasi :

Klien mendapat masukan nutrisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya.

2. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas.

Tujuan :

Klien mempertahankan integritas kulit.

Intervensi :

Kaji kulit setiap 2 jam dan prn terhadap area tertekan, kemerahan dan pucat.

R/ pengkajian yang tepat dan lebih dini akan cepat pula penanganan terbaik pada masalah yang terjadi pada klien

Tempatkan anak pada permukaan yang mengurangi tekanan

R/ mencegaah kerusakan jaringan dan nekrosis karena tekanan

Ubah posisi dengan sering, kecuali jika dikontraindikasikan

R/ mencegah edema dependen dan merangsang sirkulasi

Lindungi titik-titik tekanan (misalnya : trikanter, sakrum, pergelangaan kaki,bahu dan oksiput)

Pertahankan kebersihan kulit dan kulit dalam keadaan kering

Berikan cairan yang adekuat untuk hidrasi

Berikan masukan makanan dengan jumlah protein dan karbohidrat yang adekuat.

Evaluasi :

Kulit klien tetap keadaan utuh, bersih dan kering

3. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan ketidak mampuan mengontrol gerakan sekunder terhadap spastisitas.

Tujuan :

Klien tidak mengalami cedera fisik

Intervensi :

Berikan lingkungan fisik yang aman :

Beri bantalan pada perabot. R/ untuk perlindungan.

Pasang pagar tempat tidur. R/ untuk mencegah jatuh.

Kuatkan perabot yang tidak licin. R/ untuk mencegah jatuh.

Hindari lantai yang disemir dan permadani yang berantakan. R/ untuk mencegah jatuh.

Pilih mainan yang sesuai dengan usia dan keterbatasan fisik. R/ untuk mencegah cedera.

Dorong istirahat yang cukup. R/ karena keletihan dapat meningkatkan resiko cedera.

Gunakan restrein bila anak berada dikursi atau kendaraan.

Lakukan teknik yang benar untuk menggerakkan, memindahkan daan memanipulasi bagian tubuh yang paralisis.

Implementasikan tindakan keamanan yang tepat untuk mencegah cedera termal. R/ terdapat kehilangan sensasi pada area yang sakit.

Berikan helm pelindung pada anak yang cenderung jatuh dan dorong untuk menggunakannya. R/ mencegah cedera kepala.

Berikan obat anti epilepsi sesuai ketentuan. R/ mencegah kejang.

Evaluasi :

Keluarga memberikan lingkungan yang aman untuk anak.

Anak bebas dari cedera.

4. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengaan kerusakaan kemampuan untuk mengucap kata-kata yang berhubungan dengan keterlibatan otot-otot fasial sekunder adanya rigiditas.

Tujuan :

Klien melakukaan proses komunikasi dalam batas kerusakan.

Intervensi :

Beri tahu ahli terapi wicara dengan lebih dini

R/ sebelum anak mempelajari kebiasaan komunikasi yang buruk.

Bicara pada anak dengan perlahan

R/ memberikan waktu padaa anak untuk memahami pembicaraan

Gunakan artikel dan gambar

R/ menguatkan bicara adaan mendorong pemahaman

Gunakan teknik makan

R/ membantu memudahkan bicara seperti menggunakan bibir, gigi dan berbagai gerakan lidah.

Ajari dan gunakan metode komunikasi non-verbal (mis.,bahasa isyarat) untuk anak dengan disartria berat.

Bantu keluarga mendapatkan alat elektronik untuk memudahkan komunikasi non-verbal (mis., mesin tik, microkomputer dengan pengolah suara).

Evaluasi :

Anak mampu mengkomunikasikan kebutuhan pada pemberi perawatan.

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Cerebral Palsy adalah suatu kerusakan jaringan otak yang bersifat permanen dan tidak progresif. Walaupun demikian, gambaran kliniknya masih dapat berubah dalam perjalanan hidup penderita. Insidensi penyakit ini di luar negeri bervariasi antara 0,07 -- 6per 1.000 kelahiran hidup. Di Indonesia masih belum diketahui. Faktor penyebab mungkin terletak pada masa prenatal, natal dan post natal. Perubahan neuropatologik pada CP berlokasi pada korteks motorik, ganglia basalis dan serebelum. Manifestasi klinik bergantung pada lokalisasi dan luasnya kerusakan jaringan otak. Dibedakan 3 bentuk dasar gangguan motorik pada CP, yaitu spastisitas, atetosis dan ataksia. Diagnosis ditegakkan atas adanya riwayat yang berkaitan dengan kemungkinan adanya kerusakan jaringan otak dan kelainan fisik/neurologik yang sesuai. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang.

Penanganan meliputi : reedukasi/rehabilitasi, psiko terapi, tindakan operasi dan pemberian obat-obatan, yang melibatkan suatu team yang terdiri dari berbagi disiplin keahlian. Prognosis bergantung pada : berat ringannya CP, gejala-gejala penyerta, cepatnya dimulai dan intensipnya penanganan, sikap dan kerjasama penderita/keluarga serta masyarakat.

B. SARAN

Perawatan dari anak-anak ini memerlukan ketrampilan dan, jika mereka dirawat dirumah, maka harus ada pelayanan pendukung yang efektif. Tindakan perawatan spesifik bertujuan :

© Pencegahan dekubitus

© Memperthankan saluran pernafasan yang bersih

© Menemukan cara terbaik untuk memberikan makanan pada anak dan menjamin asupan makanan yang adekuat

© Menentukan suatu sistem komunikasi sehingga anak dapat mengutarakan, kebutuhan, keinginan dan kerinduannya, dan

© Mendorong agar anak menggunakan kemampuannya dan membantu anak mengembangkan kemampuannya secara penuh.

CP tidak dapat disembuhkan, terapi yang dilakukan untuk memperbaiki kapabilitas anak. Dalam perkembangannya, hingga saat ini tujuan terapi pada CP adalah mengusahakan penderita dapat hidup mendekati kehidupan normal dengan mengelola problem neurologis yang ada seoptimal mungkin. Disini tidak ada terapi standar yang berlaku untuk semua penderita CP. Klinisi diharapkan dapat bekerja sama dalam tim, untuk mengidentifikasi kebutuhan khusus masing-masing anak dan kelainan-kelainan yang ada dan kemudian menentukan terapi individual yang cocok untuk setiap penderita.

CP tak selalu menganggu intelegensia penderita. Ada pasien justru yang bisa sekolah dan berprestasi. Contohnya saja, ada pasien yang sekarang sudah kelas 6, bahkan kuliah di UI. Pasien dari Bandung misalkan, kelas 5 juara kelas. Sebenarnya, soal intelegensia pada CP, ada yang memang kena, ada yang tidak, tergantung tingkat keparahan CP-nya.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Darto saharso. (2006). Cerebral Palsy Diagnosis dan Tatalaksana. Kelompok Studi Neuro-developmental Bagian Ilmu Kesehtan Anak FK Unair RSU Dr. Soetomo. Surabaya.

L.Wong, Donna. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik . (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.

M.Sacharin, Rosa. (1986). Prionsip Keperawatan Pediatrik. Edisi 2, Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Martin T, Susan. (1998). Standar Perawatan Pasien. Volume 4. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit. Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Soetjiningsih,dr. (1998). Tumbuh Kembang Anak. Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (1997). Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

http://www.indonesiaindonesia.com/f/12784-cerebral-palsy/

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/13_CerebralPalsy.pdf/13_CerebralPalsy.html

www.medicastore.com

http://heri-rahmat.blogspot.com/2005/06/case-study-cerebral-palsy.html